Sering kali kita mendengar banyak orang yang memulai berdo”a dengan mengucapkan tahmid yang artinya sebagai berikut: �segala puji bagi Allah dengan pujian yang memenuhi segala nikmatnya dan menyamai tambahannya� Namun sering kali kita lupa untuk mempertanyakan, apakah bentuk tahmid ini berdalil ataukah tidak. Untuk membahas hal itu, akan saya kutip penjelasan syeikh Abdur Rozaq bin Abdul Munhsin al Badar dalam Fiqh al-Ad�iyah wal Adzkar hal 260 � 263.
Sebagian ahlul ilmi menyatakan bahwa bentuk tahmid yang paling afdhol adalah : ��.. berdalil dengan riwayat dari Abu Nasrat Tammar, ia berkata bahwa Adam :� Wahai Rabbku, engkau telah menyibukkanku untuk bekerja, maka ajarilah aku tasbih dan tahmid yang ringkas namun bermakna.� Maka Allah memberikan wahyu, �Hai Adam, jika engkau berada di waktu pagi dan sore, ucapkanlah sebanyak tiga kali : ���� itulah tahmid yang ringkas namun bermakna ��.
Al Imam Ibnul Qayyim, pernah diminta komentar tentang tahmid ini, maka beliu sangat mengingkari bahkan beliau menyusun sebuah risalah khusus untuk membahas hal ini.
Beliau berkata : �Hadits mengenai ini tidak terdapat dalan Shahih Muslim ataupun Shahih Bukhari, bahkan tidak ada dalam kitab-kitab hadits yang bisa dijadikan sandaran. Bukan hanya itu, bahkan hadits ini tidak memiliki sanad yang dikenal. Namun hanya terdapat riwayat dari Abu Nasr At Tammari dari Adam. Sedangkan tidak ada yang mengetahui berapa tahun selisih antara Abu Nasr dan Adam kecuali Allah. Ibnul Qoyyim lalu menyebutkan hadits di atas, setelah itu beliau berkomentar, �Andai Abu Nasr meriwayatkan sebuah hadits langsung dari Nabi Adam, tentu ini merupakan riawayat mun-qathi� yang tidak bisa diterima. Karena jarak yang begitu jauh antara dia dengan Rasulullah, lalu bagaimana jika ia meriwayatkan hadits dari Adam.
Sebagian orang mengira bahwa tahmid dengan lafaz seperti ini adalah lafaz tahmid yang paling sempurna, utama, dan paling mencakup berbagai makna. Karena itu, mereka mengatakan jika ada seseorang bersumpah akan memuji Allah dengan pujian yang paling agung dan paling mencangkup, maka cara untuk melaksanakan sumpah itu dengan mengucapkan ���.. mereka menyatakan bahwa makna �.. adalah menerima nikmat, sehingga kenikmatan akan timbul bersama pujian itu. Sedangkan �� berarti menyamai tambahan nikmat. Ini bermakma bahwa ia mensyukuri tambahan kebaikan dan hikmat dari Allah.
Lafaz tahmid seperti ini tidak terdapat dalam tahmid yang digunakan Allah dalam Al Qur�an. Ibnul Qoyyim berkomentar, �Inilah tahmid Allah untuk diri-Nya yang Ia ajarkan kepada hamba-Nya dengan menurunkannya dalam Al Qur�an. Inilah tahmid penduduk surga. Maka berarti inilah tahmid yang palig sempurna, lengkap, dan paling ditekankan untuk dibaca. Bagaimana mungkin untuk melaksanakan sumpah. Orang yang bersumpah tadi malah berpaling dari tahmid yang Allah ajarkan dan lebih memlilih lafaz tahmid yang tidak diagunakan Allah dan Rasul-Nya dalam Al Qur�an dan hadits sahih. Tidak pula ia sewaktu memuji Allah dalam berbagai kondisi yang diajurkan seperti dalam khutbah hajat, selesai makan dan minum, berpakaian, keluar dari wc, melihat hal yang menyenangkan atau tidak menyenangkan.
Setelah menyebutkan sumpah tempat tahmid yang terdapat dalam hadits, Ibnul Qoyyim berkata, �Inilah tempat-tempat bertahmid yang diperintahkan/diisyaratkan berdasarkan perkataan Allah, Rasul-Nya, dan para sahabat. Maka andaikan hadits-hadits ditanyakan tadi adalah tahmid paling utama, paling sempurna, dan paling mencakup sebagaimana sangkaan segelintir orang, niscaya sighat tahmid ini paling sering digunakan Rasul untuk memuji Allah (Lihat Matholi� as-Sa�di, hal. 98).
Berdasarkan penelitian Ibnul Qoyyim ini, jelaslah kelemahan sighat tahmid ini dar segi riwayat. Bahkan andai saja tahmid ini berasal dari riwayat yang sahih dan mengandung sighat yang paling sempurna, tentu Rasul tidak akan memilih yang lain, karena Aisyah berkata, �� �Rasul itu menyukai do”a yang ringkas berisi dan meninggalkan/tidak mengamalkan do”a yang panjang bertele-tele (HR. Abu Dawud, dll).disahihkan dalam Bahjatin Nadzirin, 1466)
Sedangakan Rasul menyatakan ����sebaik-baik do”a adalah �.. (Hr. Tirmidzi dan Ibnu Majah, dihasankan oleh Al Albani, lihat Sahihul Jami�, no. 1104).
Dari sini kita tahu bahwa andai saja tahmid seperti ini adalah tahmid yang paling sempurna, tentu tidak ditinggalkan oleh Rasul.
Di samping itu, seorang hamba tidak mungkin bisa memuji Allah dengan pujian yang bisa memenuhi satu buah nikmat Allah, apalagi seluruh nikmat. Perbuatan dan pujian seorang hamba tidak mungkin menyamai tambahan nikmat-Nya. Ibnul Qoyyim berkata, �Ini adalah mustahil yang paling mustahil, karena jika ada seorang hamba yang mampu melakukan ibadah seluruh jin dan manusia, maka ia tetap belum bisa mensyukuri sebuah nikmat yang paling sepele (Matholi as Sa�di, Hal. 41).
Ibnul qoyyim berkata, �Namun lafaz tahmid ini masih bisa kita bawa kepada makna yang benar dengan menyatakan bahwa pujian yang berhak bagi Allah adalah pujian yang memenuhi nilmat-Nya dan menyamai tambahan nikmat-Nya, walaupun tidak ada seorangpun bisa melakukannya. (lihat �Iddatush Shobirin, Ibnul Qoyyim, hal 176).
Bahkan tahmid yang lebih bagus dan paling sempurna dari tahmid tadi adalah tahmid yang terdapat dalam riwayat Bukhori dll dari Abu umamah al Bahili, bahwasanya Rasul jika selesai makan mengucapkan ���
�Segala puji milik Allah, dengan pujian yang banyak, baik lagi penuh berkah di dalam-Nya. Pujian yang belum mencukupi, tidak pernah ditinggalkan dan Rabb kami pun belum merasa puas. (HR. Bukhori no 5459).
Jika memang terdapat tahmid yang lebih lengkap dan lebih utama dari lafaz ini, niscaya lafaz itu akan beliau pilih, karena Rasul hanya memilih yang paling utama dan paling sempurna.
Tentang makna tahmid di atas, Ibnu Tamiyyah berkata, �Jika ada mahluk yang memberi nikmat kepadamu, engkau masih mungkin menyamai dan membalasnya. Pemberiannya pun tidak kekal dan pasti berhenti, Engkau pun bisa untuk tidak merasa butuh kepadanya. Sedangkan Allah, engkau tidak mungkin membalas nikmat-Nya karena nikmat-Nya bersifat kekal. Bahkan Dia itu Maha Kaya dan kita tidak mungkin bisa tidak merasa butuh kepada Allah meski hanya sekejap mata� (Matholi� as Sa�di, Ibnul Qoyyim, hal 49). Demikian nukilan dari Syeikh Abdur Rozzaq.
Setelah memahami penjelasan di atas, masihkah kita akan mempertahankan suatu yang tidak berdasar dengan meninggalkan suatu yang menjadi pilihan kekasih-Nya, kholil-Nya ???
0 comments:
Post a Comment