Hari Senin, 12 Rabi’ul awwal 1422 H atau 4 Juni 2001 pada umumnya kalender yang terbitan (percetakan) Indonesia ditandai dengan warna merah–umumnya warna merah pada kalender ini banyak orang yang senang dibuatnya–yang menandakan telah terjadinya suatu peristiwa bersejarah. bagi kaum Muslimin peristiwa itu tidak asing lagi, yakni hari dan bulan dilahirkannya seorang yang terpilih, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Terdapat banyak ungkapan/ekspresi dalam mensikapi hari bersejarah tersebut. ada yang biasa-biasa saja, sebagaimana mensikapi hari-hari lainnya, ada yang mempunyai perasaan tertentu, ada yang bergembira–mungkin karena hari itu libur–bahkan ada yang mengadakan semacam upacara ritual ibadah tertentu, ‘ ala kulli hal semuanya tidak terlepas dari tiga sikap yakni sikap berlebih-lebihan, meremehkannya (dua sikap ghuluw di atas merupakan perangkap syetan, bagi syetan tidak perduli kemanakah manusia condongnya dampaknya akan sama saja) dan yang bersikap wasath ‘pertengahan’.
kita sebagai seorang muslim yang baik, salafiyun, tentunya mempunyai sikap dan pendirian yang berdasarkan tuntunan syari’at dalam suatu perkara, sehingga tidak terjebak dalam perangkap syetan itu ketika mensikapi suatu masalah. sebaik-baik urusan adalah yang pertengahan–yang sesuai syar’i tentunya–atau orang istilahkan ‘moderat’.
Sebenarnya bagaimana sih tuntunan salaf dalam hal ini?, terutama yang kita soroti adalah mereka yang terjebak dalam sikap berlebih-lebihan dalam memperingati maulid Nabi shalallahu ”alaihi wa sallam–yang dominan di kalangan kaum Muslimin Indonesia.
Jika kita melihat ke belakang, yakni pada jaman keemasannya Islam, pada jaman di mana Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, jamannya para shahabat ridhwanullah ‘alaihim jaami’an, atau jamannya para tabi’in atau juga jamannya para tabi’ut-tabi’in (itulah jaman keemasannya Islam, sebaik-baiknya jaman) maka tidak akan kita jumpai peringatan mengenai Maulid Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam semacam yang terjadi di negeri kita ini, apakah mereka lupa ataukah bagaimana…, sehingga tidak terdapat nukilan dari mereka mengenai peringatan maulid Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebenarnya, peringatan maulid Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bagaimanapun bentuknya memang tidak ada tuntunannya dalam syari’at, tidak ada nash atau dalil yang mendukung perbuatan tersebut.
Tapi juga kan tidak ada nash atau dalil yang melarang untuk melakukan perbuatan tersebut jadi sah-sah saja, bahkan ini menunjukkan syi’ar islam, menunjukkan kecintaan kita kepada Rasulullah shalallahu ”alaihi wa sallam, apakah anda ini tidak cinta pada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan melarang perbuatan kami ini Mungkin itu–dan semacamnya–bantahan (baca: syubhat) yang muncul ketika kita menjelaskan pada mereka tentang tidak adanya dalam syari’at Islam mengenai peringatan maulid Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Jawabannya…, bahkan (harus) kita sangat mencintai beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam, cinta kita kepada beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam melebihi cinta kita kepada kedua orang tua kita, bahkan kepada diri kita sendiri, setiap nama beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam disebut kita mengucapkan shalawat kepada beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam kita mengerjakan sunnah-sunnah (tradisi, kebiasaan)nya yang tentunya dengan cara yang benar sesuai dengan syari’at, tidak ngawur atau mengarang sendiri lalu dicarikan pembenarannya lewat Al-Qur’an dan As-Sunnah yang dipaksakan.
Adalah keliru jika dikatakan tidak ada larangan dalam melakukan perbuatan tersebut, karena perbuatan tersebut termasuk ibadah, yang di mana ada suatu kaidah yang menyatakan Semua perbuatan ‘ibadah terlarang untuk dikerjakan hingga didapatkan dalil yang memerintahkannya, perlu diketahui kaidah ini tidak asal dibuat namun diambil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah–kalau ada kesempatan akan dijelaskan insya’ Allah.
Kesimpulannya perbuatan memperingati maulid Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah bid’ah, bukan termasuk dari syi’ar-syi’ar Islam, tidak ada tuntunannya dalam syari’at, sunnahnya kita hindari atau tinggalkan perbuatan tersebut. hendaknya kita mencukupkan diri dengan sunnah yang ada, sunnah-sunnah yang dikerjakan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabat yang lurus lagi terbimbing
Kalau antum perhatikan maka mereka yang melakukan ritual tersebut–maulid Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam–kebanyakan kualitas keislamannya kurang dari segi ilmu dan amal shaleh, bahkan banyak di antara mereka yang meninggalkan shalat berjama’ah di masjid–yang itu merupakan kewajiban bagi seorang laki-laki muslim–padahal itu adalah syi’ar-syi’ar Islam yang sangat jelas dan agung. tambahan pula maulid Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam mirip dengan natalnya orang nashara–memperingati kelahiran, padahal kita dilarang untuk tasyabbuh ‘menyerupai’ mereka dan dianjurkan untuk menyelisihi mereka. masih banyak lagi bantahan mengenai peringatan ini yang kalau dijelaskan akan berlembar-lembar halaman, bagusnya antum baca buku di antaranya yang bagus yaitu Kitab Tauhid III tulisannya Syaikh Fauzan bin Al-Fauzan yang diterbitkan oleh penerbit Darul Haq.
Demikianlah sedikit catatan mengenai peringatan Maulid Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam semoga bermanfaat dan jangan lupa untuk memberi peringatan mengenai bid’ahnya peringatan Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam kepada saudara antum untuk meninggalkannya yang mungkin begitu ‘bersemangat sekali’ dalam menyongsong/mensikapi ritual ini dengan cara yang hikmah, lemah-lembut tentunya.
0 comments:
Post a Comment